(Jum’at, 06/07/2018) – Kejadian suhu udara dingin yang dirasakan di beberapa daerah seperti Bandung, Sukabumi, Malang, dan Dieng saat musim kemarau dan beredarnya berita yang mengkaitkan dengan “fenomena aphelion” banyak menimbulkan pertanyaan di masyarakat.
Fenomena suhu udara dingin merupakan fenomena alamiah yang biasa terjadi di bulan-bulan puncak musim kemarau (Juli – Agustus). Selama 1 hingga 5 Juli 2018 berdasarkan pengamatan BMKG di seluruh wilayah Indonesia, suhu udara kurang dari 15 derajat Celsius tercatat di beberapa wilayah yang seluruhnya memang berada di dataran tinggi/kaki gunung seperti Ruteng (NTT), Wamena (Papua), dan Tretes (Pasuruan), di mana suhu terendah tercatat di Ruteng (NTT) dengan nilai 12.0 derajat Celsius pada tanggal 4 Juli 2018. Sementara itu untuk wilayah lain di Indonesia selisih suhu terendah selama awal Juli 2018 ini terhadap suhu terendah rata-rata selama 30 hari terakhir ini tidak begitu besar.
Menurut Deputi Bidang Meteorologi, Drs. Mulyono R. Prabowo, M.Sc., “Sebenarnya fenomena aphelion ini adalah fenomena astronomis yang terjadi setahun sekali pada kisaran bulan Juli”. Sementara itu, pada waktu yang sama, wilayah Indonesia secara umum berada pada periode musim kemarau. Hal ini menyebabkan seolah aphelion memiliki dampak yang ekstrem terhadap penurunan suhu di Indonesia.
Faktanya, belakangan ini penurunan suhu di bulan Juli lebih dominan disebabkan karena dalam beberapa hari terakhir di wilayah Indonesia, khususnya Jawa, Bali, NTB, dan NTT kandungan uap di atmosfer cukup sedikit. Hal ini terlihat dari tutupan awan yang tidak signifikan selama beberapa hari terakhir. Secara fisis, uap air dan air merupakan zat yang cukup efektif dalam menyimpan energi panas. Sehingga, rendahnya kandungan uap di atmosfer ini menyebabkan energi radiasi yang dilepaskan oleh bumi ke luar angkasa pada malam hari tidak tersimpan di atmosfer dan energi yang digunakan untuk meningkatkan suhu atmosfer di atmosfer lapisan dekat permukaan bumi tidak signifikan. Inilah penyebab suhu udara di Indonesia saat malam hari di musim kemarau relatif lebih rendah dibandingkan saat musim hujan atau peralihan.
Selain itu, wilayah Australia pada bulan Juli berada dalam periode musim dingin. Sifat dari massa udara yang berada di Australia ini dingin dan kering. Adanya pola tekanan udara yang relatif tinggi di Australia menyebabkan pergerakan massa udara dari Australia menuju Indonesia (dikenal dengan istilah Monsoon Dingin Australia) semakin signifikan sehingga berimplikasi pada penurunan suhu udara yang cukup signifikan pada malam hari di wilayah Indonesia khususnya Jawa, Bali, NTB, dan NTT”, imbuh Prabowo.
Deputi Bidang Klimatologi, Drs. Herizal, M.Si. menyampaikan, “Fenomena suhu dingin malam hari dan Embun beku di lereng pegunungan Dieng lebih disebabkan kondisi meteorologis dan musim kemarau yang saat ini tengah berlangsung. Pada saat puncak kemarau, memang umumnya suhu udara lebih dingin dan permukaan bumi lebih kering. Pada kondisi demikian, panas matahari akan lebih banyak terbuang dan hilang ke angkasa. Itu penyebab suhu udara musim kemarau lebih dingin daripada suhu udara musim hujan. Selain itu, kandungan air di dalam tanah menipis dan uap air di udara pun sangat sedikit jumlahnya yang dibuktikan dengan rendahnya kelembaban udara.
Saat ini di Jawa pada kondisi puncak kemarau, beberapa tempat yang berada pada ketinggian, terutama di daerah pegunungan, diindikasikan akan berpeluang untuk mengalami kondisi udara permukaan kurang dari titik beku 0 derajat Celsius, disebabkan molekul udara di daerah pegunungan lebih renggang dari pada dataran rendah sehingga sangat cepat mengalami pendinginan, lebih lebih pada saat cuaca cerah tidak tertutup awan atau hujan.
Uap air di udara akan mengalami kondensasi pada malam hari dan kemudian mengembun untuk menempel jatuh di tanah, dedaunan atau rumput. Air embun yang menempel dipucuk daun atau rumput akan segera membeku yang disebabkan karena suhu udara yang sangat dingin, ketika mencapai minus atau nol derajat. Beberapa tempat di Indonesia pernah dilaporkan mengalami fenomena ini, yaitu daerah dataran tinggi Dieng, Gunung Semeru dan pegunungan Jayawijaya, Papua”, tambah Herizal.
Hal tersebut diatas menunjukkan bahwa fenomena aphelion tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penurunan suhu di Indonesia, masyarakat diharapkan untuk tidak perlu khawatir secara berlebihan terhadap informasi yang menyatakan bahwa akan terjadi penurunan suhu ekstrem di Indonesia akibat dari aphelion.